Jumat, 20 Mei 2011

cerpen 4_gara - gara secarik kain


GARA – GARA SECARIK KAIN
Berbicara soal kain, aku punya pengalaman yang sangat menarik setidaknya menurut versi ku. Kejadian mengenai kain ini terjadi beberapa tahun silam, tepatnya ketika aku masih gadis dan berstatus sebagai salah satu mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi negeri di kota medan. Untuk memenuhi gelar sarjana pendidikan, maka salah satu syarat yang harus ku penuhi adalah mengikuti PPL terpadu (Program pengalaman lapangan terpadu, karena digabung dengan KKN). Ceritanya begini:
Dalam pelaksanaan PPL terpadu, mahasiswa harus turun ke lapangan selama tiga bulan. Lapangan yang dimaksud disini adalah sekolah dan daerah yang telah ditunjuk oleh pihak kampus. Waktu itu dikota X, aku punya seorang paman yang menjabat sebagai Kepala sekolah di SMA Negeri di kota tersebut. Alhasil untuk memudahkan proses PPL ku nantinya, aku mengurus segala berkas administrasi agar ditempatkan di kota tersebut, bagaimanapun segala sesuatu masih bisa di urus dan dikondisikan di Negeri ini. Ku rasa tuan – tuan sekalian mengerti dengan apa yang ku maksud di sini. Singkat cerita aku dan ketujuh belas teman ku dari berbagai jurusan ditempatkan di sekolah SMA Negeri di kota X tersebut.
Kota X ini merupakan salah satu kota pariwisata di provinsi Sumatra Utara dan udara di sini sangat sejuk, lebih tepatnya dingin. Melihat bule lalu lalang bukanlah hal yang asing apalagi aneh di kota ini, sedikit banyak ini merupakan hiburan tersendiri bagi ku. Bagaimana pun ketika melihat bule – bule ini lalu lalang, pucuk – pucuk cemara yang menghijau, dan kabut dingin yang turun dari puncak gunung, aku merasa diri ku sedang berada di salah satu kota di Eropah. Aku dan teman – teman ku yang terbiasa di medan dengan udara yang gerah, mulanya agak shock dengan perubahan cuaca yang ekstrim ini. Aku ingat hari pertama di kota X, aku dan beberapa teman bangun pagi – pagi dan menjerang air untuk mandi karena cuaca demikian dinginnya. Hari pertama di kota X, kami masih datang tepat waktu di sekolah tempat kami latihan mengajar, soalnya pertemuan pertama harus memberikan kesan yang baik. Hari – hari berikutnya, kami sering telat bahkan sangat telat, kami pun menjadi bahan omongan yang seru buat guru – guru dan staf di sekolah tersebut. Meskipun demikian, siswa – siswa di sekolah dan kepala sekolah tetap bersikap ramah pada kami. Beberapa teman pria ku malah menganggap bahwa PPL di kota X ini dalah suatu liburan, sejujurnya karena kami tidak begitu peduli dengan kata PPL.
Alhasil, PPL di sekolah SMA negeri X ini mungkin menjadi PPL paling buruk di kabupaten karo, meski akhirnya kami bisa tetap bertahan di sana selama tiga bulan tanpa adanya pengusiran atau laporan yang buruk dari pihak sekolah. Akhirnya tibalah saat yang dinantikan oleh guru – guru di SMA negeri X, hari perpisahan dengan PPL. Tidak ada acara perpisahan yang meriah seperti yang kami rencanakan semula, semuanya berjalan dengan amat sederhana dan kaku. Kata sambutan dari Kepala sekolah, perwakilan dari guru, siswa, dan akhirnya cara bersalam – salaman dengan siswa di sekolah tersebut di lapangan sekolah. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama guru – guru di ruang majelis guru. Dalam acara itu, kami menyerahkan cendera mata kepada kepala sekolah dan guru – guru yang hadir. Kami tahu bahwa kinerja kami sangat buruk selama PPL disana. Setelah perundingan yang panjang dengan teman – teman ku, akhirnya diputuskan bahwa saat perpisahan, tepatnya saat ini, kami akan menyerahkan cendera mata kepada guru – guru di sekolah ini sebagai kenang – kenangan dan permintaan maaf kami. Cendera mata yang kami berikan saat itu berupa sapu tangan bermotif batik dan ditata dengan apik dalam sebuah kotak mungil , diikat pita sehingga kelihatan ciamik. Dan pesta perpisahan pun usai…

Enam bulan kemudian…
Waktunya memikirkan penelitian untuk skripsi. Aku bingung memutuskan akan penelitian dimana sehubungan dengan skripsi ini. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ku putuskan untuk kembali melakukan penelitian di SMA negeri di kota X. Dengan rayuan maut, aku membujuk beberapa teman PPL ku dulu untuk penelitian di sekolah yang sama, dan lihat, mereka setuju!!!
Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, kami bertiga berangkat ke kota X. aku, pompey, dan Eve. Sepanjang jalan, teman ku si Eve sibuk memikirkan bakal seperti apa nantinya reaksi guru – guru di SMA X melihat kedatangan kami, mengingat betapa buruknya dulu kinerja kami disana..
“Vin, nanti pas kita datang pasti guru – guru itu akan memelototi kita trus bilang, tuh orang – orang yang tidak diinginkan sudah datang” gurau eve.
“Eve, aku yakin reaksinya nggak akan seburuk yang kau pikirkan” jawabku sekenanya, meski aku juga khawatir akan hal tersebut.
            Akhirnya , kami tiba di sekolah. Dari kejauhan sudah terlihat beberapa guru di ruang piket berbisik – bisik ria melihat kedatangan kami. Dengan segenap rasa percaya diri yang tersisa, kami menghampiri guru yang ada di ruang piket tersebut dan berbasa basi sejenak, tak lama kami pun pamit dan menemui kepala sekolah. Baru saja kami menghenyakkan diri di kursi ruangan Kepala Sekolah yang memang empuk, seorang guru terlihat mondar – mandir di luar ruangan kepala sekolah seolah ingin menyampaikan sesuatu. Melihat salah satu anak buahnya mondar – mandir di luar ruangan, Kepala sekolah pun menemui guru tersebut. Dan mereka pun berbincang – bincang mengenai sesuatu yang tidak kami ketahui.
            Tak lama, Kepala sekolah kembali memasuki ruangan dengan wajah yang jenaka. Sambil melap keringat yang membasahi dahinya, beliau berujar
“ sebenarnya, guru – guru di sekolah ini memiliki kesan yang kurang baik tentang saudara, makanya sambutan mereka mungkin terlihat kurang menyenangkan”
“kami tahu pak, kami sadar kalau selama praktik disini kami tidak disiplin dalam mengajar dan mengerjakan tugas – tugas kami” cecar ku dengan tidak sabar.
“ya, tapi sebenarnya pokok permasalahan bukan disitu, tetapi…..:”
Kemudian beliau merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah benda ajaib yang segera kami kenali sebagai sapu tangan pemberian kami tempo hari.
“sapu tangan ini telah mereka anggap sebagai penghinaan. Tapi, ya sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya kurang pengertian saja”
Ujar beliau berusaha menenangkan kami sambil mengangsurkan kotak itu pada kami.
Setelah kami teliti dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya, nyatalah pada kami bahwa sesuatu yang kami maksud dengan sapu tangan itu tak lebih dari secarik kain perca berbentuk persegi yanh dijahit bagian pinggirnya. Tentunya perusahaan yang membuatnya tak pernah bermaksud bahwa “benda ajaib” itu untuk dipakai tetapi hanya sebagai pajangan belaka, dan kami juga tidak dapat menyalahkan guru – guru SMA X atas persepsi mereka yang keliru. Pendek kata, posisi kami ibarat makan buah simalakama. Setelah berkas kami selesai ditanda tangani oleh Kepala Sekolah, kami segera keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan yang campur baur: geli, aneh, ganjil, dan perasaan – perasaan lainnya. Sekali lagi kami harus berpapasan dengan guru – guru di ruang piket.
“eh, kalian datang lagi ya. Koq datang sih, padahal kami belum kangen lho” ujar salah seorang guru yang wajahnya masih terlihat muda walau tidak cantik. Emangnya siapa juga yang mau kangen sama mereka. Kami hanya tersenyum masam mendengar sindirannya yang bersahaja. Sama seperti sebelumya, kami kembali singgah ke ruang piket tersebut, menyalami beberapa guru dan berbasa – basi sesaat, tidak lagi sejenak. Segera, kami langsung pamit dan bersiap meninggalkan sekolah tersebut. Baru saja kami melangkah, terdengar gelombang suara lain yang menyeletuk
” tuh kan, mereka kembali lagi ke sini, tapi koq kurang ajar kali tindakan mereka kemarin,…bla,…bla,…dan seterusnya”
Rasanya, tak perlu ku ceritakan bagaimana ekspresi guru ini menceritakan mata pelajaran kebanggaannya di depan siswa – siswanya; tenggang rasa, saling memaafkan, persaudaraan, dan topik – topik indah lainnya bagaikan kicauan burung yang silih berganti keluar dari ucapnya. Tapi tak sedikitpun beban itu mempengaruhi dakwaannya yang tidak beralasan. Kami hanyalah sekelompok anak muda yang berusaha memperbaiki kesalahan dengan meminta maaf melalui “benda ajaib” tersebut. Andaikan tindakan kami itu salah, tidakkah mereka bias berbicara terus terang pada kami tanpa harus menggunakan majas ironi dan perantara?. Ingin sekali aku berteriak ditelinganya dan berkata bahwa masa muda adalah waktunya untuk melakukan kesalahan, sehingga di masa tua aku tahu mana yang benar.
Tetapi,…Oalah ternyata secarik kain dapat mengubah pandangan hidup manusia sampai – sampai ia lupa dengan kodratnya dan kata – kata manis yang selalu dikumandangkan nya setiap saat. Untuk menghargai momen ini, maka aku menamai kisah yang tidak seberapa ini sesuai dengan judul diatas : gara – gara secarik kain.

                                                                        Medan, 16 mei 2011


Cerpen 3_Lagu cinta untuk Cherie


LAGU CINTA UNTUK CHERIE
Dentingan piano terdengar indah di ruang tamu ku yang tidak terlalu besar. Mengalun mengiringi sebuah lagu dari bibir mungil ku,
“I’ll be on your side, whenever you need me
I’ll be on your side, not only in your peace
I’ll be on your side whenever  you need me, oh my love
I’ll be on your side, forever more I’ll be on your side”
Mata itu menatap lembut wajah ku tiap kali aku mendendangkan baris demi baris dari lagu tersebut. Hati ku bergolak indah membalas tatapan matanya. Mata itu tajam namun menyorotkan kelembutan bagai tatapan mata para dewa. Saat itu tiada wajah yang lebih rupawan di jagat raya ini selain wajahnya, tiada kenikmatan yang lebih indah selain berada disampingya, tiada kebahagiaan yang melebihi canda tawa dengannya. Waktu – waktu terasa begitu cepat berlalu bila bersamanya. Ah, inikah yang disebut dengan cinta pertama? Mungkin iya. Dari cerita yang sering ku dengar, gejolak cinta pada remaja seusia ku hanya berlangsung sesaat meski berapi – api. Namun satu hal yang tidak pernah ku ketahui hingga detik ini, bahwa api cinta ku pada pria bermata elang ini tidak akan  pernah padam meski mata ku sudah rabun kelak .
“starla, mama pikir sudah cukup belajar pianonya. Lebih baik kamu tidur lebih awal, kan besok ada ekskul di sekolah” suara mama mengejutkan ku dari keasyikan ku menatap wajah indahnya.
“tapi ma,….”
Ucapan ku yang masih menggantung segera di potongnya sebelum mama ku mulai mengeluarkan ocehan yang lebih panjang lagi, kan mama jago pidato.
“ya tan, kebetulan udah kelar koq. Starla sudah banyak mengalami kemajuan. Dia terlalu semangat belajarnya tan sampai lupa waktu. Maaf ya tan,…” ujarnya sambil mengerling genit ke arah ku. Aku tersenyum masam menatap wajahnya.
“ga pa – pa koq nak Dony. Starla emang suka lupa waktu”
“ya udah tan, Dony pamit dulu ya,..” ujarnya sopan sembari menyalam tangan mama. Ia juga melanjutkan ucapannya “ aq pulang dulu ya cher,…”
“ehmmmm,…” jawab ku acuh tak acuh  meski hati ku terasa teduh mendengar panggilan sayangnya: Cherie
Aku beranjak ke ranjang ku yang nyaman dan malam pun berlalu melanjutkan petualangannya. Sumpah, aku nggak bisa benar – benar memejamkan mata barang sedetikpun meski lampu kamar ku sudah padam berjam – jam yang lalu. Ketika bedug subuh mulai terdengar, barulah mata ku dapat terpejam. Tentunya, ini tidak berlangsung lama karena setengah jam kemudian telah terdengar ketukan dipintu kamar ku yang ditingkahi oleh suara lembut seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan mama ku “ starla, bangun sayang. Jangan telat melulu donk. Liat udah jam berapa ne, cepetan mandi mama tungguin di meja makan trus,……”
Ucapan mama tidak terdengar sampai habis, karena aku keburu menyumpal telinga ku dengan earphone. Siapa juga yang mau diceramahi tiap pagi, apalagi hanya karena bangun telat (peace mama, heheehehee,….)
                                                            ***
Kebahagiaan ku belajar piano dengan guru muda nan rupawan itu tidak berlangsung lama. Karena beberapa minggu kemudian tanpa alas an yang jelas mama memecat Dony. “Mama pikir lebih baik kamu mengambil ekskul yang sesuai dengan jurusan kamu, misalnya les matematika atau kimia, bukankah kamu bercita – cita menjadi dokter,” begitu ucapan mama kala itu. Waktu itu aku berpikir mama ada benarnya. Mengapa aku harus memperdalam kemampuan ku di bidang musik padahal nantinya aku akan memasuki fakultas kedokteran. Adalah lebih baik jika aku mulai memupuk kemampuan ku dibidang sains agar aku tidak ketinggalan dengan teman – teman ku di perguruan tinggi nanti. Bukankah persaingan di sana amat ketat?
Sedikitpun aku tidak pernah menyangka kalau ternyata alasan mama lebih dari itu. Mata mama yang terlatih tidak bisa dibohongi kalau ternyata telah ada benih – benih cinta diantara aku dan Dony. Belakangan aku baru menyadarinya dari sindiran – sindiran mama pada ku. Mama bilang selera ku jelek di banding teman – teman ku. Masakan aku bisa jatuh cinta pada guru les music yang miskin sementara teman – teman sepergaulan yang juga tidak kalah angkuhnya dengan mama berpacaran dengan para pewaris kerajaan bisnis ayah nya masing – masing. Jelasnya, mama ku yang kaum jetset itu tidak akan pernah merestui hubungan ku  dengan laki – laki manapun di jagat raya ini bila tidak sederajat dengan keluarga ku, sekali lagi SEDERAJAT!!!
Memang bila dilihat secara materi, Dony bukanlah siapa – siapa di mata keluarga ku. Ayah Dony hanya bekerja sebagai tukang kebun di rumah salah satu kenalan papa. Sedangkan ibunya Dony sehari – hari berjualan gorengan di kantin sekolah ku. Dony adalah anak sulung dalam keluarganya, satu – satunya adik dony bersekolah di sekolah yang sama dengan ku. Meski harus pontang – panting untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, ayah dan ibu Dony bertekad meyekolahkan kedua anaknya di sekolah yang bagus. Dony terpaut 3 tahun dengan ku. Ketika itu aku duduk di bangku kelas 3 SMA semester awal sedangkan Dony adalah mahasiswa semester 4 sebuah universitas negeri jurusan seni music. Untuk membiayai kuliahnya, Dony bekerja sambilan sebagai pengajar music  privat. Dan kebetulan akulah siswa yang beruntung itu. Aku beruntung tidak hanya diajari olehnya tetapi juga berhasil menaklukkan hatinya yang dingin. Meski dia tidak pernah mengucapkannya secara gamblang, namun dari sorot matanya aku tahu dia memendam perasaan yang sama dengan ku. Tak hanya itu, dia juga memanggilku dengan sebutan “Cherie”. Aku tidak pernah tahu apa artinya dan dia juga tidak pernah memberitahunya. Dia selalu berkilah akan mengatakannya jika waktunya sudah tepat namun entah mengapa tiap kali mendengarnya memanggil nama ku dengan sebutan itu, hatiku terasa teduh. Dony juga suka menghabiskan waktunya dengan berjalan – jalan di pantai bersama ku. Tak sadar ia memegang tangan ku entah mengapa aku tidak merasa keberatan, sebaliknya hatiku merasa tenang. Padaku, dia selalu menceritakan impian – impiannya kelak. Menjadi seorang pianis yang hebat dan terkenal di negeri ini. Semangat dan optimismenya yang tinggi selalu membuat ku terkagum – kagum. Pendek kata, Dony adalah sumber inspirasi dan semangat hidup bagi ku.
            Hatiku serasa disayat sembilu bila mengingat nama Dony. Semua kenangan dengannya membuat ku tersenyum, tertawa, dan menitiskan air mata. Dony adalah sumber kebahagiaan sekaligus penderitaan ku. Oh nasib, mengapa Dony harus meninggalkan ku dengan cara yang kejam, mengapa Dony begitu cepat pergi bahkan sebelum dia sempat mengatakan pada ku apa arti Cherie, mengapa aku begitu bodoh mengikuti kemauan mama saat itu, dan mengapa Dony tidak bisa lagi ku temukan??. Rasanya ingin gila setiap kali pertanyaan – pertanyaan ini berkecamuk dalam benak ku.
            Bertahun – tahun lamanya sejak kepergian Dony hatiku masih merindukannya. Banyak lelaki yang singgah dihidupku namun tak satupun yang singgah dihatiku. Disana, masih tersemat nama Dony dengan indahnya. Tak ada satupun barang yang benar – benar berharga bagiku kecuali secarik kertas usang peninggalan Dony. Disitu tertulis lirik sebuah lagu ciptaannya. Tiap kali memainkan piano ku, lagu itu tidak pernah terlewatkan.
“I’ll be on your side whenever you need me
“I’ll be on your side not only in your peace
“I’ll be on your side whenever You need me oh my love
“I’ll be on your side forever more I’ll be on your side.
     Tiada terasa air mata mengalir deras di pipi ku tiap kali memainkan lagu itu. Aku membayangkan dia ada disisi ku dan merangkum kedua pipi ku dengan kedua belah tangannya. Dia menatap ku dengan tatapannya yang teduh dan menguatkan hati. Lalu  membisikkan kalimat saktinya di telinga ku: “Segala perkara dapat ku tanggung di dalam DIA yang memberi kekuatan kepada ku”. Entah sudah berapa kali kalimat yang sama dikumandangkannya di telinga ku di kala aku sedang gundah. Tapi itu dulu, jauh sebelum prahara dalam wujud ibuku datang dan memisahkan kami. Bagaimanapun, sekarang aku bukan lagi Cherie yang dulu, yang masih ingusan, anak SMA, sentimental tentang cinta, dan selalu mengganggap bahwa dirinya adalah ratu sejagat. Semakin dewasa aku, semakin aku menyadari bahwa aku tidak akan selalu mendapatkan apa yang ku inginkan, khususnya dalam hal jodoh. Buktinya, sekarang aku harus memikirkan masalah pernikahan ku dengan seorang pria relasi bisnis papa. Pria yang konon katanya terpelajar, sopan dan baik, aku bahkan tidak tahu wujudnya seperti apa. Apakah dia manusia biasa atau mahkluk luar angkasa. Semua Teori tentang persamaan hak dan kodrat antara manusia ternyata hanya omong kosong belaka. Setidaknya bagi orang tua ku manusia itu tidak sama, memiliki strata dan tingkatan social yang membuatnya berbeda satu dengan yang lainnya. Apapun itu, sekarang aku akan menikah dengan pria pilihan mereka, katanya sederajat, dan aku tidak berhak memilih. Sekali lagi aku akan MENIKAH!!!

                                                            ***
     Hari itu cuaca sangat cerah. Kicau burung dan semerbak bunga memenuhi taman kota. Seorang wanita yang sudah tua dan beruban duduk termangu menatap panorama alam yang tersaji di hadapannya. Garis – garis kecantikan masa mudanya masih tergambar jelas di raut wajahnya yang keriput. Tangannya yang ramping memegang sebuah buku yang sejak tadi ditekuninya, asyik benar ia membaca. Ketika sedang asyik membaca, tiba – tiba pandangannya tertumbuk pada sesosok pria yang duduk tidak jauh dari kursinya. Pria itu tidak lagi muda, bahkan kulitnya yang kehitaman menambah kesan tua, pakaiannya juga tidak bias dikatakan rapi atau bahkan awut – awutan. Tangan kirinya yang kokoh memegang sebuah alat music, biola tua agaknya. Nenek tua yang sedang asyik membaca bagai terhipnotis untuk terus memandang pria tersebut. Ada sesuatau dalam diri pria ini yang menarik dirinya, mempesona dirinya, sesuatu yang kelihatan sangat akrab, tapi kapan dan dimana pula ia bertemu pria ini?
     Setelah terpekur sejenak, pria tua itu mulai menggesek biolanya dengan irama yang menyayat hati, membangkitkan kerinduan yang dalam akan sesuatu, tapi apa?. Lagu demi lagu dengan lincah di mainkan oleh pria tua ini, menghipnotis seluruh pengunjung taman apalagi si nenek, bukunya tidak lagi di hiraukannya. Selanjutnya, pria ini memainkan lagu berikutnya, mungkin lagu terakhir. Dengan penuh perasaan ia menggesek biolanya, seolah tidak ingin lagu itu memiliki cacat sedikitpun dalam permainanya. Ketika lagu ini dimainkan, si nenek sontak berdiri, seolah ada sesuatu dalam lagu ini yang sangat akrab dengan dirinya, ya dia tidak salah lagi, lagu ini adalah lagunya. Dia harus tahu dari mana kakek tua ini mendapatkan irama lagu yang serupa itu. Tertatih – tatih si nenek menghampiri pria tua itu, dan ia pun sampai di tempat si pria ketika lagu hampir usai. Belum habis rasa herannya, si pria tua tersenyum padanya dan membungkuk hormat. Ya, dia tidak salah lagi, tatapan mata itu, senyum itu, hanya satu pemiliknya di dunia ini.
“kau kah itu dony?” Tanya si nenek dengan suara serak menahan haru
“nenek masih ingat aku?” balas pria itu dengan senyum jenaka
Nenek tidak dapat lagi menahan perasaannya, dia segera memeluk erat pria tua itu yang disambut pula dengan hangat. Segera si pria menarik nenek ke salah satu kursi yang ada di taman tersebut. Di sana mereka bercerita tentang perjalanan hidup yang penuh liku – liku. Si nenek menceritakan bahwa suaminya baru saja meninggal dalam kecelakaan dua bulan yang lalu, sementara si pria sudah bercerai dengan istrinya bertahun – tahun yang lalu.
“kau tahu aku tidak pernah sanggup menjalin hubungan yang serius dengan wanita manapun, karena hanya ada nama itu didada ku. Aku benci pada nama itu, aku benci pada dunia yang membuat ku tidak bisa bersama dengan pemilik nama itu” gerutu pria dengan suara tajam
“aku mengerti perasaan mu, tapi boleh lah aku tahu siapa wanita yang beruntung itu?”
“Cherie” jawab si pria sambil menatap lekat – lekat bola matanya.
Demi mendengar jawaban si pria, hati nenek bergejolak bahagia, dengan penuh rasa haru dia memeluk si pria. Waktu seolah berhenti, tidak ada masa lalu, tidak ada masa depan, yang ada hanya saat ini, ya saat ini.
“lalu, apa arti Cherie itu? kau bahkan belum memberitahunya pada ku”
“Cherie itu panggilan sayang dalam bahasa Perancis, manis” ujar Dony dengan suara perlahan.
Cherie hanya bisa tersenyum mendengar pengakuan Dony, namun siapa yang tahu seberapa kuat kini deburan ombak cinta di dadanya, hanya dia yang tahu. Yang pasti lagu cinta itu masih semerdu dahulu, dan cinta itu masih seindah dulu walaupun si nenek sudah tua dan pria itu tidak lagi muda, karena baginya Cherie tetaplah Cherie walaupun dia sudah di balut kulit keriput tak bercahaya. Dan nenek yang beruntung itu adalah Cherie. Sayup – sayup di kejauhan seolah terdengar dentingan piano yang dimainkan alam:
I’ll be on your side whenever you need me
I’ll be on your side not only you peace
I’ll be on your side whenever you need me oh my love
I’ll be on your side, forever more
I’ll be on your side.

Ya itu dia, lagu cinta untuk Cherie.


                                                                                    Medan, 27 Maret 2011

Selasa, 10 Mei 2011

MOTHER THERESA ITU DARI KESAWAN (CERPEN 2)


MOTHER THERESA ITU DARI KESAWAN
 
Keceriaan desembar terasa hangat dimana – mana. Namun agaknya keceriaan itu tidak dapat dirasakan oleh sesosok tubuh mungil yang tergolek lemah di emperan toko yang kumuh sore ini. Tubuh mungil yang adalah seorang anak berusia tiga tahun itu hanya di balut sepotong kain yang sudah kumal. Tidak dapat di pastikan apakah yang membalut tubuh anak itu sepotong selimut, sepotong perca atau hanya potongan kain usang yang biasa di pergunakan oleh sebagian orang  untuk mengelap kotoran yang menempel di dinding, karena demikian kusamnya. Tubuh itu menggeliat semakin lemah, tangisnya hampir tidak terdengar. Sakit yang mendera , membuat nya hampir tidak dapat merasakan apapun, selain bunyi klakson mobil yang meraung dari kejauhan. Sejurus kemudian bayangan orang – orang yang berseragam putih, selanjutnya,…. terasa gelap. Kini, anak itu benar – benar tidak dapat merasakan apapun,…
***
Namanya Netty Hilda cholia, akrab di sapa Anet. Seorang Mahasiswi tingkat akhir dari sebuah universitas  Negeri  di kota Medan.  Cantik, cerdas, lincah dan berkepribadian, itulah gambaran umum yang sering diungkapkan oleh orang – orang di sekitarnya mengenai seorang Anet. Tidak hanya sebagai aktivis kampus, ia juga seorang yang aktif di bidang keagamaan. Pendek kata, Anet adalah jaminan mutu untuk ukuran seorang perempuan di Jurusan Ilmu Sosial kampusnya. Banyak pria yang mencoba meluluhkan hatinya, mulai dari Ivan yang tajir, Dody yang ganteng , Anton yang jenius, hingga Denny yang Ketua Senat Mahasiswa. Namun tak satupun dari pria – pria yang telah mendapat predikat “unrejectable” ini dapat meluluhkan hatinya. Semua kebanggaan yang melekat pada pria – pria ini seolah tidak berarti apa – apa di mata seorang Anet, karena toh pada akhirnya ia melabuhkan hatinya pada seorang politikus muda yang bersahaja, Hendra Dinata. Ia seorang Politikus muda yang sedang naik daun dan duduk sebagai wakil rakyat di  DPRD kota medan
Sore ini, sosok manis itu kelihatan sedang duduk menyendiri di kursi sebuah kafe yang cukup elit. Di tangannya ia menggenggam sebuah buku yang besar, seperti sebuah skripsi. Segenap perhatian dan matanya tertuju hanya pada satu halaman buku itu. Jika diteliti dengan seksama, nyatalah bahwa gadis itu tidak sedang memberikan bola matanya pada buku yang besar tersebut, namun pada sebuah surat berwarna biru yang terselip pada salah satu halamannya. Dari raut wajahnya dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, jelas bahwa itu bukan surat yang memberi kabar bahagia. Anet membaca surat itu perlahan dengan suara serak  yang lemah, begini bunyi surat itu:
Anet cucu ku tersayang, ketika kau membuka lipatan kertas ini Oma pasti sudah tidak berada di dunia yang fana ini lagi. Karena Oma telah berpesan pada tante mu agar surat ini di berikan setelah kematian Oma. Oma tidak sanggup membayangkan perasaan mu jika Oma sendiri yang memberitahukan kebenaran yang  dirahasiakan selama  bertahun – tahun dari mu.
Sebenarnya, kau bukanlah putri kandung dari Hendro anakku, atau dengan kata lain kau bukanlah cucu ku  Net,….
Ayah kandung mu adalah Sadikun, seorang Tunawisma yang pernah  kau temui dalam acara sosial di kesawan. Mugkin kau tidak ingat peristiwa 18 tahun lalu ketika kau tergolek lemah di emperan toko yang kumuh di kesawan. Oma dan anggota tim yang membawa mu ke rumah sakit. Sejak saat itu, oma  sangat sayang pada mu dan menganggap mu seperti cucu sendiri . Ayah mu melarang oma memberi tahu yang sebenarnya. Ia tidak ingin kau tinggal di kalangan Tunawisma, jadi ia meminta Oma mengangkat mu sebagai anggota keluarga Oma sendiri dengan harapan agar kau mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Oma mu yang bodoh ini tidak sanggup menolak permintaan ayah mu yang tulus itu. Percayalah net ayah mu tidak ingin membuangmu. Ia melakukan itu semua karena sangat mencintai mu. Dia mengorbankan naluri “kebapaannya” karena menginginkan yang terbaik untuk mu, putri semata wayangnya. Net, hanya ini yang dapat Oma sampaikan pada mu. Harapan Oma agar kau dapat melanjutkan cita – cita Oma untuk menolong orang – orang yang kurang beruntung di kota ini. Bangunlah kota ini mulai dari lapisan yang terbawah. Kaum yang hina dan papa layak mendapat perhatian kita Net.
Selamat tinggal cucu ku, maafkanlah Oma mu yang jahat ini, agar Oma dapat melangkah menuju alam kekekalan menemui Opa mu dan para leluhur  yang sudah lama menunggu di sana. Inilah hidup Net, selama kau masih memilikinya lakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang akan menjadi kebanggaan mu ketika menyongsong sang Khalik
                                                                                    Ttd
Anneke Malawau

Sayup – sayup ia ingat kejadian yang telah di lupakannya. Kejadian itu sudah sangat lama. Seorang anak tergolek lemah, sirene ambulans yang meraung – raung, dan serombongan orang yang berpakaian putih. Setelah semuanya, ia terbangun di sebuah rumah megah yang tidak di kenalnya. Oma hanya bercerita bahwa Hendro adalah ayahnya. Setelah semuanya itu tidak ada lagi skema yang tergambar di kepalanya. Natal 3 bulan yang lalu, untuk pertama kalinya ia ikut dengan Oma melakukan kunjungan ke daerah kesawan. Di sana ia bertemu dengan pria yang bernama sadikun itu. Wajah pria itu tua dan kusut. Aneh, matanya berkaca – kaca ketika melihat anet dan lebih aneh lagi Anet merasa pernah bertemu dengan pria itu di salah satu kisah hidupnya. Tapi dimana,…..
Kini, semua alasan untuk De javeu itu terjawab sudah.
Tiba – tiba Anet terlonjak kaget, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya yang ramping
“Jangan melamun, nona manis. Apa yang kau pikirkan?, waduh,…. Pake acara nangis lagi. Kenapa net?”
“nggak ada apa – apa koq kak. Aku minta ketemuan karena ingin membicarakan surat yang ku ceritakan pada mu tempoh hari di telepon,” suara Anet demikian datar sedatar wajahnya saat ini.
“Oh…, kan kakak udah bilang kalo itu tidak menjadi masalah. Kakak menerima mu apa adanya. Hanya kakak nggak mau kalau Anet tinggal di sana. Terjun di tengah – tengah kehidupan orang – orang kumuh, itu sungguh tidak pantas bagi seorang gadis seperti mu Net. Dan lagi, apa kata orang – orang nanti kalau mereka tahu tunangan ku tinggal di daerah gelandangan”,…
Anet tersentum pahit mendengar ucapan tunangan nya itu. Ketus ia memotong pembicaraan hendro
“Apa kata orang – orang?!! Kak, Justru mereka akan bangga jika tahu bahwa wakil mereka memiliki tunangan yang tinggal di tengah – tengah kaum yang papa. Dan lagi, apa yang ku lakukan ini bukanlah suatu aib. Aku hanya ingin membangun kota ini dari Infrastruktur terbawah”
“Anet ku tersayang, kau bisa membangun kota ini melalui jalur lain misal politik. Itu jauh lebih terhormat daripada kau harus terjun ke sana. Ayolah net, berpikir yang realistis”
“Baiklah tuan yang terhormat, sekarang aku akan berpikir realistis dan tentang nasib mereka siapa yang akan peduli?”
“kita tentunya.  Tapi tidak harus terjun ke sana nona, …”
“Wahai wakil rakyat, sekarang aku tidak perlu berteka – teki lagi. Kau sudah memberikan gambaran yang lebih dari cukup bagi ku. Sebenarnya, alasan itu kau buat untuk menipu diri mu. Pada dasarnya, kau nggak siap menerima kenyataan kalau aku hanya anak dari seorang gelandangan miskin dan bukan Putri dari  dr. hendro Cholia. Kau ingin aku merahasiakan hal ini agar harga diri mu tidak jatuh di mata rekan – rekan sejawat mu, Sungguh picik diri mu tuan. Seorang yang selama ini aktif dalam kegiatan keagamaan, sibuk berkoar – koar tentang kepeduliannya pada rakyat kecil ternyata hanya seorang pria egois yang picik. Aku tertipu dengan topeng mu,…’
“cukup Anet, perkataan mu sudah sangat keterlaluan,….”
“Lantas tuan mau apa? Memenjarakan ku? Membawa ku ke pengadilan untuk pencemaran nama baik? sudahlah aku tidak mau berbicara panjang lebar. Sekarang, jika aku tetap dengan keputusan ku untuk tinggal bersama ayah kandung ku dan kaum gelandangan apa yang akan tuan lakukan ?”
Dan perdebatan pun  terus berlangsung hingga dicapai kata sepakat.
Anet dengan pasti melangkah keluar dari kafe itu. Panggilan Hendra yang setengah hati tidak lagi di hiraukannya. Baginya hidup adalah pilihan dan sekarang ia telah memilih untuk menjadi Netty Hilda binti Sadikun yang tidak dapat hidup dengan pria “sok sempurna” dan penuh kemunafikan. Siang yang terik menjadi saksi bisu putusnya jalinan cinta sepasang anak manusia.
***
Setahun kemudian
Di salah satu jalan besar di kota medan berdiri sebuah bangunan yang sederhana. Dibagian atas bangunan itu terpampang besar sebuah tulisan “Yayasan Sosial Peduli Sesama”
Ada sebuah rapat kecil di bangunan itu yang di pimpin oleh seorang gadis cantik yang ternya adalah Anet. Dengan berwibawa ia memimpin rapat yang di hadiri oleh orang – orang dari berbagai kalangan tersebut.
“Baiklah bapak – ibu, saudara – saudari yang saya kasihi, saat ini saya akan membacakan rincian hasil keputusan rapat ini. Yang pertama, semua dana yang telah terkumpul akan di pergunakan untuk keperluan – keperluan berikut ini:
1.      Membiayai pengobatan beberapa anak tunawisma yang terlantar di rumah sakit
2.      Membiayai pendidikan beberapa siswa kurang mampu yang berprestasi
3.      Membiayai kursus menjahit kilat bagi tunawisma yang akan kita laksanakan dalam waktu dekat ini
Yang kedua, dalam jangka waktu 3 bulan ke depan kita akan membangun sebuah sekoalh berkualitas untuk anak – anak yang kurang mampu. Dan yang ketiga kita akan mengadakan rapat minggu depan untuk membicarakan besar pendanaan untuk tiap – tiap kegiatan yang akan kita lakukan. Demikianlah hasil keputusan rapat ini, atas kepedulian bapak – ibu, dan saudara semua, saya ucapkan terima kasih”
Plok,plok,plok,… dan tepuk tangan pun bergemuruh memenuhi ruangan kecil itu.
                                                            ***
Sore yang terlalu mendung untuk seorang Anet duduk sendirian di pemakaman.  Bersimpuh ia di sebuah pusara yang bertuliskan “rest In: Peace Anneke Malawau” pada Nisannya. Ia membuka lipatan kertas yang di bawanya, dan membaca tulisan yang tertera di sana:
                                                                                    Medan, 14  April 2010
Oma tersayang, sejak kepergian mu ada bagian yang hilang dalam diri ku. Kasih mu yang senantiasa kau limpahkan dalam hidup ku telah memberikan makna yang dalam. Jujur, aku kecewa dengan keputusan Oma untuk menyimpan suatu rahasia dari ku. Tapi aku sudah lama memaafkan Oma. Oma,  aku telah membaktikan hidup ku pada kaum yang papa sebagaimana yang oma harapkan. Meski dengan pilihan itu, aku harus kehilangan sesuatu yang berharga di hidup ku. Ya, aku telah kehilangan Hendra ku Oma. Dia telah menikah dengan wanita pilihan ibunya. Tapi, aku tidak menyesal dengan keputusan ku, aku percaya ini yang terbaik bagi ku. Mungkin aku belum bisa menyamai Mother Theresa, namun perkataannya telah membangkitkan semangat dalam hidupku, bahwa kita semua adalah “Pena di tangan Tuhan”
Oma, aku harap oma bahagia di sisi Tuhan sebagaimana aku juga bahagia bersama dengan orang – orang yang kau tinggalkan lainnya. Terimakasih Oma, aku bangga pernah mengenal dan memiliki Oma seperti mu.

                                                                                                Ttd
                                                                                                Anet
Perlahan, Anet melipat helaian kertas itu memasukkannya ke amplop bersamaan dengan karangan bunga yang di bawanya dan meletakkannya di pusara sang Oma. Tak lama, dia melangkahkan kaki meninggalkan pemakaman. Rambutnya yang halus tertiup angin sepoi – sepoi lembut yang desahannya seolah – olah berbisik “Lanjutkan perjuangan mu Net, kau telah mengambil keputusan terbaik yang pernah kau buat dalam hidup mu”
Langkah Anet terasa ringan. Dia tersenyum pada bunga, pada mentari yang bersembunyi malu – malu dibalik awan, pada pepohonan,dan pada hari esok yang  menjanjikannya masa depan yang lebih baik.


 

Sample Text

Text Widget

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Mengenai Saya

Foto saya
i'm a beautifull girl and has a wonderful future,... love it!!!

Pengikut

Recent Posts

Download