Jumat, 20 Mei 2011

cerpen 4_gara - gara secarik kain


GARA – GARA SECARIK KAIN
Berbicara soal kain, aku punya pengalaman yang sangat menarik setidaknya menurut versi ku. Kejadian mengenai kain ini terjadi beberapa tahun silam, tepatnya ketika aku masih gadis dan berstatus sebagai salah satu mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi negeri di kota medan. Untuk memenuhi gelar sarjana pendidikan, maka salah satu syarat yang harus ku penuhi adalah mengikuti PPL terpadu (Program pengalaman lapangan terpadu, karena digabung dengan KKN). Ceritanya begini:
Dalam pelaksanaan PPL terpadu, mahasiswa harus turun ke lapangan selama tiga bulan. Lapangan yang dimaksud disini adalah sekolah dan daerah yang telah ditunjuk oleh pihak kampus. Waktu itu dikota X, aku punya seorang paman yang menjabat sebagai Kepala sekolah di SMA Negeri di kota tersebut. Alhasil untuk memudahkan proses PPL ku nantinya, aku mengurus segala berkas administrasi agar ditempatkan di kota tersebut, bagaimanapun segala sesuatu masih bisa di urus dan dikondisikan di Negeri ini. Ku rasa tuan – tuan sekalian mengerti dengan apa yang ku maksud di sini. Singkat cerita aku dan ketujuh belas teman ku dari berbagai jurusan ditempatkan di sekolah SMA Negeri di kota X tersebut.
Kota X ini merupakan salah satu kota pariwisata di provinsi Sumatra Utara dan udara di sini sangat sejuk, lebih tepatnya dingin. Melihat bule lalu lalang bukanlah hal yang asing apalagi aneh di kota ini, sedikit banyak ini merupakan hiburan tersendiri bagi ku. Bagaimana pun ketika melihat bule – bule ini lalu lalang, pucuk – pucuk cemara yang menghijau, dan kabut dingin yang turun dari puncak gunung, aku merasa diri ku sedang berada di salah satu kota di Eropah. Aku dan teman – teman ku yang terbiasa di medan dengan udara yang gerah, mulanya agak shock dengan perubahan cuaca yang ekstrim ini. Aku ingat hari pertama di kota X, aku dan beberapa teman bangun pagi – pagi dan menjerang air untuk mandi karena cuaca demikian dinginnya. Hari pertama di kota X, kami masih datang tepat waktu di sekolah tempat kami latihan mengajar, soalnya pertemuan pertama harus memberikan kesan yang baik. Hari – hari berikutnya, kami sering telat bahkan sangat telat, kami pun menjadi bahan omongan yang seru buat guru – guru dan staf di sekolah tersebut. Meskipun demikian, siswa – siswa di sekolah dan kepala sekolah tetap bersikap ramah pada kami. Beberapa teman pria ku malah menganggap bahwa PPL di kota X ini dalah suatu liburan, sejujurnya karena kami tidak begitu peduli dengan kata PPL.
Alhasil, PPL di sekolah SMA negeri X ini mungkin menjadi PPL paling buruk di kabupaten karo, meski akhirnya kami bisa tetap bertahan di sana selama tiga bulan tanpa adanya pengusiran atau laporan yang buruk dari pihak sekolah. Akhirnya tibalah saat yang dinantikan oleh guru – guru di SMA negeri X, hari perpisahan dengan PPL. Tidak ada acara perpisahan yang meriah seperti yang kami rencanakan semula, semuanya berjalan dengan amat sederhana dan kaku. Kata sambutan dari Kepala sekolah, perwakilan dari guru, siswa, dan akhirnya cara bersalam – salaman dengan siswa di sekolah tersebut di lapangan sekolah. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama guru – guru di ruang majelis guru. Dalam acara itu, kami menyerahkan cendera mata kepada kepala sekolah dan guru – guru yang hadir. Kami tahu bahwa kinerja kami sangat buruk selama PPL disana. Setelah perundingan yang panjang dengan teman – teman ku, akhirnya diputuskan bahwa saat perpisahan, tepatnya saat ini, kami akan menyerahkan cendera mata kepada guru – guru di sekolah ini sebagai kenang – kenangan dan permintaan maaf kami. Cendera mata yang kami berikan saat itu berupa sapu tangan bermotif batik dan ditata dengan apik dalam sebuah kotak mungil , diikat pita sehingga kelihatan ciamik. Dan pesta perpisahan pun usai…

Enam bulan kemudian…
Waktunya memikirkan penelitian untuk skripsi. Aku bingung memutuskan akan penelitian dimana sehubungan dengan skripsi ini. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ku putuskan untuk kembali melakukan penelitian di SMA negeri di kota X. Dengan rayuan maut, aku membujuk beberapa teman PPL ku dulu untuk penelitian di sekolah yang sama, dan lihat, mereka setuju!!!
Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, kami bertiga berangkat ke kota X. aku, pompey, dan Eve. Sepanjang jalan, teman ku si Eve sibuk memikirkan bakal seperti apa nantinya reaksi guru – guru di SMA X melihat kedatangan kami, mengingat betapa buruknya dulu kinerja kami disana..
“Vin, nanti pas kita datang pasti guru – guru itu akan memelototi kita trus bilang, tuh orang – orang yang tidak diinginkan sudah datang” gurau eve.
“Eve, aku yakin reaksinya nggak akan seburuk yang kau pikirkan” jawabku sekenanya, meski aku juga khawatir akan hal tersebut.
            Akhirnya , kami tiba di sekolah. Dari kejauhan sudah terlihat beberapa guru di ruang piket berbisik – bisik ria melihat kedatangan kami. Dengan segenap rasa percaya diri yang tersisa, kami menghampiri guru yang ada di ruang piket tersebut dan berbasa basi sejenak, tak lama kami pun pamit dan menemui kepala sekolah. Baru saja kami menghenyakkan diri di kursi ruangan Kepala Sekolah yang memang empuk, seorang guru terlihat mondar – mandir di luar ruangan kepala sekolah seolah ingin menyampaikan sesuatu. Melihat salah satu anak buahnya mondar – mandir di luar ruangan, Kepala sekolah pun menemui guru tersebut. Dan mereka pun berbincang – bincang mengenai sesuatu yang tidak kami ketahui.
            Tak lama, Kepala sekolah kembali memasuki ruangan dengan wajah yang jenaka. Sambil melap keringat yang membasahi dahinya, beliau berujar
“ sebenarnya, guru – guru di sekolah ini memiliki kesan yang kurang baik tentang saudara, makanya sambutan mereka mungkin terlihat kurang menyenangkan”
“kami tahu pak, kami sadar kalau selama praktik disini kami tidak disiplin dalam mengajar dan mengerjakan tugas – tugas kami” cecar ku dengan tidak sabar.
“ya, tapi sebenarnya pokok permasalahan bukan disitu, tetapi…..:”
Kemudian beliau merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah benda ajaib yang segera kami kenali sebagai sapu tangan pemberian kami tempo hari.
“sapu tangan ini telah mereka anggap sebagai penghinaan. Tapi, ya sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya kurang pengertian saja”
Ujar beliau berusaha menenangkan kami sambil mengangsurkan kotak itu pada kami.
Setelah kami teliti dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat – singkatnya, nyatalah pada kami bahwa sesuatu yang kami maksud dengan sapu tangan itu tak lebih dari secarik kain perca berbentuk persegi yanh dijahit bagian pinggirnya. Tentunya perusahaan yang membuatnya tak pernah bermaksud bahwa “benda ajaib” itu untuk dipakai tetapi hanya sebagai pajangan belaka, dan kami juga tidak dapat menyalahkan guru – guru SMA X atas persepsi mereka yang keliru. Pendek kata, posisi kami ibarat makan buah simalakama. Setelah berkas kami selesai ditanda tangani oleh Kepala Sekolah, kami segera keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan yang campur baur: geli, aneh, ganjil, dan perasaan – perasaan lainnya. Sekali lagi kami harus berpapasan dengan guru – guru di ruang piket.
“eh, kalian datang lagi ya. Koq datang sih, padahal kami belum kangen lho” ujar salah seorang guru yang wajahnya masih terlihat muda walau tidak cantik. Emangnya siapa juga yang mau kangen sama mereka. Kami hanya tersenyum masam mendengar sindirannya yang bersahaja. Sama seperti sebelumya, kami kembali singgah ke ruang piket tersebut, menyalami beberapa guru dan berbasa – basi sesaat, tidak lagi sejenak. Segera, kami langsung pamit dan bersiap meninggalkan sekolah tersebut. Baru saja kami melangkah, terdengar gelombang suara lain yang menyeletuk
” tuh kan, mereka kembali lagi ke sini, tapi koq kurang ajar kali tindakan mereka kemarin,…bla,…bla,…dan seterusnya”
Rasanya, tak perlu ku ceritakan bagaimana ekspresi guru ini menceritakan mata pelajaran kebanggaannya di depan siswa – siswanya; tenggang rasa, saling memaafkan, persaudaraan, dan topik – topik indah lainnya bagaikan kicauan burung yang silih berganti keluar dari ucapnya. Tapi tak sedikitpun beban itu mempengaruhi dakwaannya yang tidak beralasan. Kami hanyalah sekelompok anak muda yang berusaha memperbaiki kesalahan dengan meminta maaf melalui “benda ajaib” tersebut. Andaikan tindakan kami itu salah, tidakkah mereka bias berbicara terus terang pada kami tanpa harus menggunakan majas ironi dan perantara?. Ingin sekali aku berteriak ditelinganya dan berkata bahwa masa muda adalah waktunya untuk melakukan kesalahan, sehingga di masa tua aku tahu mana yang benar.
Tetapi,…Oalah ternyata secarik kain dapat mengubah pandangan hidup manusia sampai – sampai ia lupa dengan kodratnya dan kata – kata manis yang selalu dikumandangkan nya setiap saat. Untuk menghargai momen ini, maka aku menamai kisah yang tidak seberapa ini sesuai dengan judul diatas : gara – gara secarik kain.

                                                                        Medan, 16 mei 2011


0 komentar:

Posting Komentar

please, leave comment

Sample Text

Text Widget

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Mengenai Saya

Foto saya
i'm a beautifull girl and has a wonderful future,... love it!!!

Pengikut

Recent Posts

Download