Selasa, 10 Mei 2011

MOTHER THERESA ITU DARI KESAWAN (CERPEN 2)


MOTHER THERESA ITU DARI KESAWAN
 
Keceriaan desembar terasa hangat dimana – mana. Namun agaknya keceriaan itu tidak dapat dirasakan oleh sesosok tubuh mungil yang tergolek lemah di emperan toko yang kumuh sore ini. Tubuh mungil yang adalah seorang anak berusia tiga tahun itu hanya di balut sepotong kain yang sudah kumal. Tidak dapat di pastikan apakah yang membalut tubuh anak itu sepotong selimut, sepotong perca atau hanya potongan kain usang yang biasa di pergunakan oleh sebagian orang  untuk mengelap kotoran yang menempel di dinding, karena demikian kusamnya. Tubuh itu menggeliat semakin lemah, tangisnya hampir tidak terdengar. Sakit yang mendera , membuat nya hampir tidak dapat merasakan apapun, selain bunyi klakson mobil yang meraung dari kejauhan. Sejurus kemudian bayangan orang – orang yang berseragam putih, selanjutnya,…. terasa gelap. Kini, anak itu benar – benar tidak dapat merasakan apapun,…
***
Namanya Netty Hilda cholia, akrab di sapa Anet. Seorang Mahasiswi tingkat akhir dari sebuah universitas  Negeri  di kota Medan.  Cantik, cerdas, lincah dan berkepribadian, itulah gambaran umum yang sering diungkapkan oleh orang – orang di sekitarnya mengenai seorang Anet. Tidak hanya sebagai aktivis kampus, ia juga seorang yang aktif di bidang keagamaan. Pendek kata, Anet adalah jaminan mutu untuk ukuran seorang perempuan di Jurusan Ilmu Sosial kampusnya. Banyak pria yang mencoba meluluhkan hatinya, mulai dari Ivan yang tajir, Dody yang ganteng , Anton yang jenius, hingga Denny yang Ketua Senat Mahasiswa. Namun tak satupun dari pria – pria yang telah mendapat predikat “unrejectable” ini dapat meluluhkan hatinya. Semua kebanggaan yang melekat pada pria – pria ini seolah tidak berarti apa – apa di mata seorang Anet, karena toh pada akhirnya ia melabuhkan hatinya pada seorang politikus muda yang bersahaja, Hendra Dinata. Ia seorang Politikus muda yang sedang naik daun dan duduk sebagai wakil rakyat di  DPRD kota medan
Sore ini, sosok manis itu kelihatan sedang duduk menyendiri di kursi sebuah kafe yang cukup elit. Di tangannya ia menggenggam sebuah buku yang besar, seperti sebuah skripsi. Segenap perhatian dan matanya tertuju hanya pada satu halaman buku itu. Jika diteliti dengan seksama, nyatalah bahwa gadis itu tidak sedang memberikan bola matanya pada buku yang besar tersebut, namun pada sebuah surat berwarna biru yang terselip pada salah satu halamannya. Dari raut wajahnya dan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, jelas bahwa itu bukan surat yang memberi kabar bahagia. Anet membaca surat itu perlahan dengan suara serak  yang lemah, begini bunyi surat itu:
Anet cucu ku tersayang, ketika kau membuka lipatan kertas ini Oma pasti sudah tidak berada di dunia yang fana ini lagi. Karena Oma telah berpesan pada tante mu agar surat ini di berikan setelah kematian Oma. Oma tidak sanggup membayangkan perasaan mu jika Oma sendiri yang memberitahukan kebenaran yang  dirahasiakan selama  bertahun – tahun dari mu.
Sebenarnya, kau bukanlah putri kandung dari Hendro anakku, atau dengan kata lain kau bukanlah cucu ku  Net,….
Ayah kandung mu adalah Sadikun, seorang Tunawisma yang pernah  kau temui dalam acara sosial di kesawan. Mugkin kau tidak ingat peristiwa 18 tahun lalu ketika kau tergolek lemah di emperan toko yang kumuh di kesawan. Oma dan anggota tim yang membawa mu ke rumah sakit. Sejak saat itu, oma  sangat sayang pada mu dan menganggap mu seperti cucu sendiri . Ayah mu melarang oma memberi tahu yang sebenarnya. Ia tidak ingin kau tinggal di kalangan Tunawisma, jadi ia meminta Oma mengangkat mu sebagai anggota keluarga Oma sendiri dengan harapan agar kau mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Oma mu yang bodoh ini tidak sanggup menolak permintaan ayah mu yang tulus itu. Percayalah net ayah mu tidak ingin membuangmu. Ia melakukan itu semua karena sangat mencintai mu. Dia mengorbankan naluri “kebapaannya” karena menginginkan yang terbaik untuk mu, putri semata wayangnya. Net, hanya ini yang dapat Oma sampaikan pada mu. Harapan Oma agar kau dapat melanjutkan cita – cita Oma untuk menolong orang – orang yang kurang beruntung di kota ini. Bangunlah kota ini mulai dari lapisan yang terbawah. Kaum yang hina dan papa layak mendapat perhatian kita Net.
Selamat tinggal cucu ku, maafkanlah Oma mu yang jahat ini, agar Oma dapat melangkah menuju alam kekekalan menemui Opa mu dan para leluhur  yang sudah lama menunggu di sana. Inilah hidup Net, selama kau masih memilikinya lakukan segala sesuatu yang bermanfaat. Itulah yang akan menjadi kebanggaan mu ketika menyongsong sang Khalik
                                                                                    Ttd
Anneke Malawau

Sayup – sayup ia ingat kejadian yang telah di lupakannya. Kejadian itu sudah sangat lama. Seorang anak tergolek lemah, sirene ambulans yang meraung – raung, dan serombongan orang yang berpakaian putih. Setelah semuanya, ia terbangun di sebuah rumah megah yang tidak di kenalnya. Oma hanya bercerita bahwa Hendro adalah ayahnya. Setelah semuanya itu tidak ada lagi skema yang tergambar di kepalanya. Natal 3 bulan yang lalu, untuk pertama kalinya ia ikut dengan Oma melakukan kunjungan ke daerah kesawan. Di sana ia bertemu dengan pria yang bernama sadikun itu. Wajah pria itu tua dan kusut. Aneh, matanya berkaca – kaca ketika melihat anet dan lebih aneh lagi Anet merasa pernah bertemu dengan pria itu di salah satu kisah hidupnya. Tapi dimana,…..
Kini, semua alasan untuk De javeu itu terjawab sudah.
Tiba – tiba Anet terlonjak kaget, sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya yang ramping
“Jangan melamun, nona manis. Apa yang kau pikirkan?, waduh,…. Pake acara nangis lagi. Kenapa net?”
“nggak ada apa – apa koq kak. Aku minta ketemuan karena ingin membicarakan surat yang ku ceritakan pada mu tempoh hari di telepon,” suara Anet demikian datar sedatar wajahnya saat ini.
“Oh…, kan kakak udah bilang kalo itu tidak menjadi masalah. Kakak menerima mu apa adanya. Hanya kakak nggak mau kalau Anet tinggal di sana. Terjun di tengah – tengah kehidupan orang – orang kumuh, itu sungguh tidak pantas bagi seorang gadis seperti mu Net. Dan lagi, apa kata orang – orang nanti kalau mereka tahu tunangan ku tinggal di daerah gelandangan”,…
Anet tersentum pahit mendengar ucapan tunangan nya itu. Ketus ia memotong pembicaraan hendro
“Apa kata orang – orang?!! Kak, Justru mereka akan bangga jika tahu bahwa wakil mereka memiliki tunangan yang tinggal di tengah – tengah kaum yang papa. Dan lagi, apa yang ku lakukan ini bukanlah suatu aib. Aku hanya ingin membangun kota ini dari Infrastruktur terbawah”
“Anet ku tersayang, kau bisa membangun kota ini melalui jalur lain misal politik. Itu jauh lebih terhormat daripada kau harus terjun ke sana. Ayolah net, berpikir yang realistis”
“Baiklah tuan yang terhormat, sekarang aku akan berpikir realistis dan tentang nasib mereka siapa yang akan peduli?”
“kita tentunya.  Tapi tidak harus terjun ke sana nona, …”
“Wahai wakil rakyat, sekarang aku tidak perlu berteka – teki lagi. Kau sudah memberikan gambaran yang lebih dari cukup bagi ku. Sebenarnya, alasan itu kau buat untuk menipu diri mu. Pada dasarnya, kau nggak siap menerima kenyataan kalau aku hanya anak dari seorang gelandangan miskin dan bukan Putri dari  dr. hendro Cholia. Kau ingin aku merahasiakan hal ini agar harga diri mu tidak jatuh di mata rekan – rekan sejawat mu, Sungguh picik diri mu tuan. Seorang yang selama ini aktif dalam kegiatan keagamaan, sibuk berkoar – koar tentang kepeduliannya pada rakyat kecil ternyata hanya seorang pria egois yang picik. Aku tertipu dengan topeng mu,…’
“cukup Anet, perkataan mu sudah sangat keterlaluan,….”
“Lantas tuan mau apa? Memenjarakan ku? Membawa ku ke pengadilan untuk pencemaran nama baik? sudahlah aku tidak mau berbicara panjang lebar. Sekarang, jika aku tetap dengan keputusan ku untuk tinggal bersama ayah kandung ku dan kaum gelandangan apa yang akan tuan lakukan ?”
Dan perdebatan pun  terus berlangsung hingga dicapai kata sepakat.
Anet dengan pasti melangkah keluar dari kafe itu. Panggilan Hendra yang setengah hati tidak lagi di hiraukannya. Baginya hidup adalah pilihan dan sekarang ia telah memilih untuk menjadi Netty Hilda binti Sadikun yang tidak dapat hidup dengan pria “sok sempurna” dan penuh kemunafikan. Siang yang terik menjadi saksi bisu putusnya jalinan cinta sepasang anak manusia.
***
Setahun kemudian
Di salah satu jalan besar di kota medan berdiri sebuah bangunan yang sederhana. Dibagian atas bangunan itu terpampang besar sebuah tulisan “Yayasan Sosial Peduli Sesama”
Ada sebuah rapat kecil di bangunan itu yang di pimpin oleh seorang gadis cantik yang ternya adalah Anet. Dengan berwibawa ia memimpin rapat yang di hadiri oleh orang – orang dari berbagai kalangan tersebut.
“Baiklah bapak – ibu, saudara – saudari yang saya kasihi, saat ini saya akan membacakan rincian hasil keputusan rapat ini. Yang pertama, semua dana yang telah terkumpul akan di pergunakan untuk keperluan – keperluan berikut ini:
1.      Membiayai pengobatan beberapa anak tunawisma yang terlantar di rumah sakit
2.      Membiayai pendidikan beberapa siswa kurang mampu yang berprestasi
3.      Membiayai kursus menjahit kilat bagi tunawisma yang akan kita laksanakan dalam waktu dekat ini
Yang kedua, dalam jangka waktu 3 bulan ke depan kita akan membangun sebuah sekoalh berkualitas untuk anak – anak yang kurang mampu. Dan yang ketiga kita akan mengadakan rapat minggu depan untuk membicarakan besar pendanaan untuk tiap – tiap kegiatan yang akan kita lakukan. Demikianlah hasil keputusan rapat ini, atas kepedulian bapak – ibu, dan saudara semua, saya ucapkan terima kasih”
Plok,plok,plok,… dan tepuk tangan pun bergemuruh memenuhi ruangan kecil itu.
                                                            ***
Sore yang terlalu mendung untuk seorang Anet duduk sendirian di pemakaman.  Bersimpuh ia di sebuah pusara yang bertuliskan “rest In: Peace Anneke Malawau” pada Nisannya. Ia membuka lipatan kertas yang di bawanya, dan membaca tulisan yang tertera di sana:
                                                                                    Medan, 14  April 2010
Oma tersayang, sejak kepergian mu ada bagian yang hilang dalam diri ku. Kasih mu yang senantiasa kau limpahkan dalam hidup ku telah memberikan makna yang dalam. Jujur, aku kecewa dengan keputusan Oma untuk menyimpan suatu rahasia dari ku. Tapi aku sudah lama memaafkan Oma. Oma,  aku telah membaktikan hidup ku pada kaum yang papa sebagaimana yang oma harapkan. Meski dengan pilihan itu, aku harus kehilangan sesuatu yang berharga di hidup ku. Ya, aku telah kehilangan Hendra ku Oma. Dia telah menikah dengan wanita pilihan ibunya. Tapi, aku tidak menyesal dengan keputusan ku, aku percaya ini yang terbaik bagi ku. Mungkin aku belum bisa menyamai Mother Theresa, namun perkataannya telah membangkitkan semangat dalam hidupku, bahwa kita semua adalah “Pena di tangan Tuhan”
Oma, aku harap oma bahagia di sisi Tuhan sebagaimana aku juga bahagia bersama dengan orang – orang yang kau tinggalkan lainnya. Terimakasih Oma, aku bangga pernah mengenal dan memiliki Oma seperti mu.

                                                                                                Ttd
                                                                                                Anet
Perlahan, Anet melipat helaian kertas itu memasukkannya ke amplop bersamaan dengan karangan bunga yang di bawanya dan meletakkannya di pusara sang Oma. Tak lama, dia melangkahkan kaki meninggalkan pemakaman. Rambutnya yang halus tertiup angin sepoi – sepoi lembut yang desahannya seolah – olah berbisik “Lanjutkan perjuangan mu Net, kau telah mengambil keputusan terbaik yang pernah kau buat dalam hidup mu”
Langkah Anet terasa ringan. Dia tersenyum pada bunga, pada mentari yang bersembunyi malu – malu dibalik awan, pada pepohonan,dan pada hari esok yang  menjanjikannya masa depan yang lebih baik.


 

0 komentar:

Posting Komentar

please, leave comment

Sample Text

Text Widget

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Postingan Populer

Mengenai Saya

Foto saya
i'm a beautifull girl and has a wonderful future,... love it!!!

Pengikut

Recent Posts

Download